Rabu, 18 Mei 2011

MAKALAH
KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Failsafat Pendidikan Islam
Yang dibina oleh Bapak Siswanto, M.Pd.


Di susun Oleh:
NURUL FAIZAH
NIM: 180 811 308














SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PAMEKASAN
2011

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……….
DAFTAR ISI………….
A. BAB I PENDAHULUAN…………
1. Latar Belakang Masalah……………
2. Rumusan Masalah……………..
B. BAB II PEMBAHASAN…………….
1. Riwayat hidup Muhammad Naquib al-Attas…..
2. Karya-Karya Muhammad Naquib al-Attas………..
3. Khakikat Manusia dalam Pandangan Muhammad Naquib Al-Attas…
4. Konsep Pendidikan yang Ditawarkan Muhammad Naquib Al-Attas..
5. Paradigma Pendidikan yang Ditawarkan Muhammad Naquib Al-Attas…….
6. Aktualisasi Konsep Pendidikan Muhammad Naquib Al-Attas Dalam Pendidikan Islam Masa Kini…….
C. BAB III PENUTUP ……..
Kesimpulan…………
DAFTAR PUSTAKA…………..

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) - dengan berbagai coraknya - berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan.Lebih dari itu, bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam.
Pada persoalan kurikulum misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman dikotomis keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/ naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Bertolak dari problematika tersebut di atas, di Islam pun dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda proses dan tujuannya. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik dan kurang peduli terhadap peradaban teknologi modern; ini sering diwarnai oleh corak pemikiran Timur Tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari Barat yang kurang mempedulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari sistem yang kedua ini berupa universitas modern yang sepenuhnya sekular dan karena itu pendekatannya bersifat non-agamis. Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka sendiri.
Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam; antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum (Barat) telah menimbulkan persaingan di antara keduanya, yang saat ini –dalam hal peradaban- dimenangkan oleh Barat, sehingga pengaruh pendidikan Barat terus mengalir deras, dan ini membuat identitas umat Islam mengalami krisis dan tidak berdaya. Dalam kajian AM. Saefuddin ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi pengaruh Barat itu membuatnya bersifat taqiyah; artinya, kaum Muslimin lebih menyem-bunyikan identitas keislamannya, karena rasa takut dan malu.
Menurut Al-Attas percabangan sistem pendidikan tersebut di atas telah membuat lambang kejatuhan umat Islam. dan dapat dirasakan bahwa selama ini ada sesuatu yang kurang beres dalam dunia pendidikan Islam dari segi konsep (kurikulum, proses, tujuan) dan aktualisasinya. Oleh karena itu perlu adanya rekonseptualisasi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau penataan kembali di dalamnya.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya ia mencoba menawarkan kepada umat islam tentang rekonstruksi konsep pendidikan islam yang selama ini telah terpuruk. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Karena itu, dalam makalah yang cukup singkat ini, penulis akan mencoba memaparkan tentang konsep yang ditawarkan al-Attas bagi pendidikan islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana riwayat hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
2. Apa saja karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
3. Bagaimana khakikat manusia dalam pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
4. Seperti apa konsep pendidikan yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
5. Bagaimana paradigma pendidikan yang ditawarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
6. Bagaimana aktualisasi konsep pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam pendidikan islam masa kini?

BAB II
PEMBAHASAN

A. RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Pada waktu indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda, tepat tanggal 5 september 1931, di Bogor Jawa Barat lahirlah seorang pemuda yang bernama Syed Muhammad Naquib al-Attas. yang merupakan adik kandung dari Prof. DR. Syed Hussein Al-Attas, seorang ilmuan dan pakar sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lupmur, Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas yang berasal dari Saudi Arabia dengan silsilah dari keturunan ulama dan ahli tasawuf yang sangat terkenal dari kelompok sayyid, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus dari keturunan kaum ningrat, berdarah biru dari kerajaan Sunda Sukapurah Jawa Barat dengan semangat religius yang sangat kental dan mendalam sekali.
Al-Attas, termasuk seorang yang beruntung secara intern. Sebab dari kedua belah pihak – ayah maupun ibunya- merupakan orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli bogor itu merupakan keturunan bangsawan sunda. Sedangkan dari pihak ayah masih keturunan bangsawan di johor, bahkan mendapat gelar sayyid. Dalam tradisi islam, sebutan sayyid merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian al-Attas merupakan keturunan orang mulya dari segi nasab. Atau dapat disebut juga sebagai “Bibit unggul” dalam percaturan perkembangan intelektual Islam Indonesia dan Malaysia.
Faktor interen keluarga inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dlam dirinya. Bimbingan orangtua selama 5 tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang religius memberikan pendidikan dasar islam yang kuat. Dan ketika usia lima tahun, al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia, disana al-Attas dalam pendidikan Ngee Heng Primary School sampai usia sepuluh tahun.
Ketika Malaysia dikuasai oleh jepang dan dalam perkembangannya sangat tidak menguntungkan, maka al-Attas dan keluarganya pindah lagi ke Indonesia. Disini kemudian melanjutkan sekolah di sekolah urwah al wusqa, sukabumi selama lima tahun. Ditempat inilah beliau mendapatkan pemahaman tradisi islam di bidang tarekat, karena saat itu di sukabumi telaah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.
Setelah tammat pendidikan dari sukabumi, ia kembali lagi ke Malaysia dan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang ke militeran ini al-Attas menunjukkan bakti dan prestasinya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan meliter yang leih tinggi di berbagai sekolah di inggris.
Ketika Malaysia merdeka pada tahun 1957, AlAttas mengundurkan diri dari dinas meliter dan mengembangkan potensi dasarnya yakni dibidang intelektual. Untuk itu, beliau sempat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasannya, kemudian dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studinya di Institute of Islamic Studies, Macgiil, Canada.
Dalam waktu yang relative singkat, yakni antara tahun 1959-1962, al-Attas telah berhasil mendapat gelar Master dengan tesisnya Raniry and the wujudiyyah of 17th Century Aceh.
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, al-Attas kemudian melanjutkan studinya ke School of Oriental and African Studies di universitas London. Disinilah ia bertemu dengan Martin Lings, seorang professor asal inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun hanya pada dataran metodologis. Salah satu pengaruh yang besar dalam diri al-Attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis dan psikologis. Asumsi inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh al-Attas, Sayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar.
Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan martin, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mempertahankan desertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Setelah selesai melakukan studi doktornya, kemudian ia mulai mengabdikan dirinya kepada islam dengan memulai memangku jabatan di jurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Disini ia menekankan arti pentingnya kajian melayu sebab dengan mengkaji sejarah melayu akan mendalami proses islamisasi Indonesia malaysia. Karena karya pujangga melayu sarat dengan ajaran islam.
Berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia tidak bias dilepaskan dari peranannya. Dan pengantar yang digunakan dalam universitas tersebut adalah bahasa melayu, karena al-Attas sangat inten dalam memasyarakatkan bahasa melayu. Bahkan dalam pertengahan tahun 70-an al-Attas menentang keras kebijakan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran bahasa melayu Jawi pada pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab menurutnya hal itu, berarti telah terjadi penghapusan sarana islamisasi yang paling strategis dan juga penghilangan budaya keislaman.
Ketika konfrensi dunia pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah al-Mukarromah, tepat pada bulan april 1977, ia menyampaikan sebuah makalah yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education. Kemudian mendapat respon positif, yaitu diterimanya ide tersebut oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagai realisasi dari ide cemerlangnya, pada tahun 1984, OKI memberikan kepercayaan kepadanya untuk mendirikan sebuah Universitas Internasional di Malaysia.
Universitas tersebut sedikit berbeda dengan universitas yang lain, yaitu dengan tambahan pengajaran dasar islam dan bahasa arab. Tetapi belakangan konsep universitas ini berubah lebih dekat dengan IIIT (International Institute of Islamic Thought) dengan islamisasi disiplin.
Karena itu, al-Attas merasa tidak sejalan dengan kebijakan Rektorat kemudian memisahkan diri dan mendirikan lebaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran islam. Terutama filsafat sebagai jantung proses islamisasi. Lembaga itu diberinama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) yang tepat didirikan pada tangggal 22 November 1978 dengan al-Attas sebagai ketuanya. Hal ini, kemudian mendapat sambutan positif dari pemerintah.
B. KARYA-KARYA MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Sebagai tokoh intelektual, al-Attas banyak meninggalkan karyanya, yaitu sampai saat ini sudah ada kurang lebih 26 karya yang berupa buku. Diantara karya-karya yang penulis dapat kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Rangkaian Ruba’iyat, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kuala Lumpur, 1959.
2. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays, Malaysian Sociological Research Institute, Singapura, 1963
3. Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No.111, Singapura, 1966.
4. The Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1968
5. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
6. The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970.
7. Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1971.
8. The Correct Date of the Trengganu Inscription, Museums Department, Kuala Lumpur, 1972.
9. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972. Sebagian isi buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Prancis. Buku ini juga telah hadir dalam versi bahasa Indonesia.
10. Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf yang belum diterbitkan, 286 hlm, ditulis antara Februari-Maret 1973. (buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001.
11. Comments on the Re-examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq: A Refutation, Museums Department, Kuala Lumpur, 1975
12. Islam: The Concept of the Religion and the Foundation of Ethics and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Jepang, dan Turki.
13. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur, 1977. Versi bahasa Melayu buku No. 12 di atas.
14. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.
15. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdulaziz University, London: 1979. Diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
16. The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia, dan Arab
17. Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London dan New York, 1985
18. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
19. The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of Al-Nasafi, Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988.
20. Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
21. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
22. The Intuition of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
23. On Quiddity and Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
24. The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Turki, dan Jerman.
25. The Degress of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
26. Prologonema to the Metephysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Karya-karya tersebut tidak termasuk arikel dan rekaman ceramah ilmiah yang disampiakan didepan public. Sebab amat banyak karyanya al-Attas ini.
C. HAKIKAT MANUSIA PERSPEKTIF MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS.
Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh; artinya, makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. Manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula jasad murni, melainkan makhluk yang secara misterius terdiri dari kedua elemen ini, yang disebut dengan entitas ketiga, yaitu jati dirinya sendiri.
Walapun diciptakan, ruh manusia itu merupakan sesuatu yang tidak mati dan selalu sadar akan dirinya. Ia adalah tempat bagi segala sesuatu yang dilengkapi dengan fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda, yaitu ruh (ruh), jiwa (nafs), hati (qalb), dan intelek (‘aql).
Menurut Al-Attas bahwa manusia merupakan binatang rasional yang dikenal dengan sebutan al-Hayawan al-Natiq. Natiq mempunyai rasioanal, di samping itu manusia pun memiliki fakultas batin yang mampu merumuskan makna-makna. Perumusan makna itu melibatkan penilaian, perbedaan, dan penjelasan. Inilah yang pada akhirnya membentuk rasionalitas. Sementara makna itu sendiri adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu yang berada di dalam suatu system.
Selanjutnya terma natiq dan nutuq adalah pembicaraan (suatu kekuatan dan kapasitas untuk merangkai simbol bunyi yang menghasilkan makna) dan dari sini pulalah kemudian manusia disebut juga dengan istilah “binatang yang berbahasa”. Sedangkan „aql pada dasarnya berarti ikatan atau simbol yang mengandung makna suatu sifat dalam yang mengikat dan menyimpulkan objekobjek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata.
Berdasarkan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia mempunyai sifat ganda yaitu jiwa dan raga yang berwujud fisik dan roh. Sejalan dengan itu, manusia kemudian memiliki dua jiwa, yaitu jiwa rasional (al-Nafs al-Natiqah) dan jiwa hewani (al-Nafs al-Hayawaniyah) yang utuh di mana yang tinggi harus mengalahkan yang rendah, sebagaimana Allah SWT mengatur jagad raya ini.
Sebelum berbentuk makhluk jasmani, manusia itu telah mengikat janji akan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Perjanjian itu mempunyai konsekuensi selalu akan mengikuti kehendak Allah SWT, akan tetapi setelah lahir manusia lupa akan perjanjian tersebut. Dengan kata lain bahwa perjanjian atau pengikatan itu adalah agama (al-Din) dengan kepatuhan yang sejati (aslama). Keduanya saling melengkapi dalam sifat hakiki manusia yang disebut dengan fitrah. Dalam diri manusia telah membawa fitrah atau potensi untuk beragama, yang berarti kepatuhan secara total kepada Allah SWT.
Dari penjelasan di atas terlihat betapa kompleks dan komplitnya tugas dan fungsi manusia, yang kesemuannya itu merupakan usaha menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini yang harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan kemampuan yang mapan dan representatif berkualitas tinggi.
D. KONSEP PENDIDIKAN MENURUT MUHMMAD NAQUIB AL-ATTAS
1. Hakikat Pendidikan
Dewasa ini, seringkali di dalam dunia pendidikan menganggap pendidikan akhlak hanyalah sesuatu yang tidak penting dalam proses belajar mengajar. Karena memahami pendidikan akhlak sebagai pendidikan yang diberikan kepada fase tertentu (masa remaja dan dewasa) dan hanya guru tertentu yang bias menyampaikan pendidikan akhlak kepada peserta didik, atau secara metode pelaksanaannya sering kita dengar bahwa pendidikan akhlak diberikan secara spontan atau occasional oleh guru.
Al-Attas mengatakan bahwa akhlak adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan terhadap posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi jasmani, intelektual dan ruhaniyah. Istilah adab dan ta’dib yang dipertahankan Al-Attas sebagai pendidikan bersandar kepada sabda Nabi “Addabani Rabbi Fa-ahsana Ta’dzibi”. Artinya, (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikan yang terbaik).
Konsep yang ditawarkan oleh Al-Attas adalah “manusia beradab (ta’dzib)”. Beliau berpendapat bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik. Yang dimaksud baik di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.
Orang yang terpelajar menurut Al-Attas adalah orang yang beradab, yaitu orang baik adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia beradab.
Pendidikan akhlak menurut Al-Attas adalah penyamaian dan penanaman adab dalam diri manusia yang disebut dengan istilah ta’dzib. Al-Attas menyebutkan bahwa contoh yang ideal manusia beradab adalah Nabi Muhammad.
Karena itu,Al-Attas mencantumkan nama Nabi Muhammad di tengah-tengah logo institut yang pernah didirikannya, yaitu ISTAC (International Institut of Islamic Thought and Civilization) di Kuala Lumpur.
Dalam upaya manusia sempurna dalam dunia pendidikan Islam, maka Al-Attas mengajukan agar nama dalam pendidikan Islam adalah memakai nama ta’dzib. Alasan beliau mengajukan ide ini karena ta’dzib mencakup semuanya baik yang bersifat realita maupun spiritual.
Timbulnya ide seperti ini karena ketidaksepakatan beliau terhadap penamaan pendidikan yang selama ini kita kenal, yaitu tarbiyah dan ta’lim. Jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, maka konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat dalam penamaan pendidikan, bukan tarbiyah maupun ta’lim. Al-Attas mengatakan, bahwa struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu, intruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Tarbiyah menurut beliau merupakan terjemahan dari kata education, yang hanya mementingkan fisik material saja sesuai dengan masyarakat, manusia, dan negaranya.
Landasan yang dijadikan acuan dalam mengintruksikan konsep ta’dib, adalah dengan hadits yang artinya sebagai berikut: Tuhan telah mendidikku, dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan.
Al-Attas berhati-hati dalam menterjemahkan kata kerja addabani yang terdapat dalam hadits di atas dengan “telah mendidikku”. Kemudian mengartikan kata ta’dib dengan pendidikan Konsep pendidikan akhlak dalam pengertian ta’dib adalah bukanlah sebuah proses yang akan menghasilkan spesialis, melainkan proses yang akan menghasilkan individu yang baik, yang akan menguasai berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan pandangan hidup Islam, berupaya menghasilkan Muslim yang terdidik secara benar, jelas identitasnya, jujur, moderat, berani, dan adil dalam menjalankan kewajiban dalam berbagai realita dan masalah kehidupan sesuai dengan urutan prioritas yang dipahaminya.
Menurut Al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari keterampilan betapapun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan sesuatu. Lebih lanjut ditegaskan bahwa sesuatu yang harus ditanamkan dalam pendidikan tersebut adalah ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung dalam konsep adab. Kecuali itu porsi pendidikan dari kata ta’dib penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai kehidupan manusia.
Ada tiga hal sebagai konsekuensi logis yang timbul sebagai akibat dari tidak dipakainya konsep ta’dib sebagai pendidikan dan proses pendidikan tersebut. Pertama, kebingungan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi. Kedua, hilangnya adab di dalam ummat, yang akibatnya akan timbul. Ketiga, bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat. Kepemimpinan yang absah dalam umat Isalm yang tidak memiliki standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa hakikat pendidikan menurut Al-Attas adalah harus menekankan kepada segi adab. Maksudnya agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu. Karena itu ilmu tidak bebas nilai, tetapi sangat sarat nilai; yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
2. Tujuan Pendidikan
Al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang lebih rendah hingga ke tingkat yang lebih tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga Negara yang sempurna, melainkan untuk memunculkan manusia yang paripurna.
Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.
Menurutnya, Tujuan untuk mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu bukan hanya sebagai waga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis berdasarkan keguanaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia.
Membahas konsep Negara Paripurna (Al-Madinah Al-Fadhilah) dalam Islam, Al-Attas menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah membina dan mengembangkan warga Negara yang sempurna sebagaimana yang ditekankan para pemikir Barat, melainkan lebih dari itu adalah membina manusia yang paripurna, dan pada tujuan inilah pendidikan itu diarahkan. Menurutnya, perhatian penuh terhadap individu merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab tujuan tertinggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu itu sendiri.
Insan kamil haruslah menjadi paradigma ataupun model bagi perumusan sebuah lembaga pendidikan. Manusia dalam pandangan ini bukan manusia sembarangan melainkan manusia yang sempurna, yang dalam sudut pandang Islam manusia sempurna itu tercermin pada Rasulullah. Jadi, lembaga pendidikan yang dibangun itu mestilah juga mencerminkan pribadi Rasulullah pula.
Karena itu menurut Al-AttasPendidikan Islam hendaklah menjadikan Nabi sebagai cerminan dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar dengan fungsi untuk melahirkan manusia yang baik. Laki-laki maupun perempuan yang sedapat mungkin dikembangkan kualitasnya sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya sedekat mungkin menyerupai Nabi dalam segala tindakan dan pengetahuannya.


3. Metode Pembelajaran Pendidikan
Salah satu metode yang pernah dipakai oleh Al-Attas dalam mengajarkan materi-materi di atas adalah metode metafora dan cerita sebagai contoh dan perumpamaan. Sebuah metode yang juga banyak dipakai dalam al-Qur’an dan al- Hadits. Adalah sesuatu yang wajar bagi para ulama khususnya para sufi.
Salah satu metafora yang paling diulang-ulang oleh Al-Attas adalah metafora papan petunjuk jalan untuk melambangkan sifat teologis dalam dunia ini, yang sering dilupakan orang, khususnya para ilmuwan. Menurutnya, dunia ini bagaikan papan petunjuk jalan yang member petunjuk kepada musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan tanda itu jelas, dengan kata-kata tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak, sang musafir akan membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa.
Selain metode metafora dan cerita, Al-Attas juga memakai metode tauhid yang menjadikannya sebagai salah satu karakteristik pendidikan dan epistemology Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan olehnya. Menurutnya, metode tauhid dapat menyelesaikan problematika dikotomi yang salah.
4. Materi Pendidikan
Kajian Al-Attas mengenai muatan atau materi pendidikan berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual. Kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.
Al-Attas menklasifikasikan ilmu menjadi dua bagian, yaitu fardu ‘ain (ilmu-ilmu agama) dan fardu kifayah (ilmu rasional, intelektual, dan filosofis) dengan perincian sebagai berikut:
a. Ilmu –ilmu agama
 Materi studi al-Qur‟an, yang meliputi konsep al-Qur‟an, sejarah al-Qur‟an, asbabun nuzul, pengumpulan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami al-Qur‟an (seperti: nasikh mansukh, alkhashsh, muhkam-mutasyabih, dan amar-nahi)
 Sunnah, yang meliputi kehidupan Nabi, sejarah dan risalah nabinabi terdahulu, hadits dan perawinya. Sejarah dan metodologi Hadits wajib bagi semua Mahasiswa. Selain itu, mata kuliah ini merupakan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik Hadits, beberapa Istilah teknisnya, analisis perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan Hadits yang penting dan pengategoriannya, ilmu biografi dan kamus utama mengenai biografi
 Syari’at (fikih dan hukum), prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, iman, dan ihsan). Al-Attas menganggap bahwa pengetahuan syari’at sebagai aspek yang terpenting dalam pendidikan agama Islam. Bagaimanapun, pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat, dan andil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian yang lebih besar dari pada yang diperlukan kebanyakan Muslim dalam bidang pendidikan
 Teologi (ilmu kalam); meliputi Tuhan, Zat-Nya, sifat-sifat, namanama, dan perbuatannya (at-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam pendidikan tinggi Islam sekarang ini.
 Metafisika Islam (at-tashawuuf irfani); meliputi psikologi, kosmologi, ontologi, dan elemen-elemen filsafat Islam. Mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam pendidikan Al- Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realita dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur’an Hadits, teologi, dan filsafat.
 Ilmu bahasa; meliputi bahasa Arab, bahasa Indonesia, tata bahasanya, dan sastranya. Tujuan dari ilmu ini adalah bukan hanya untuk menguasai keterampilan berbicara melainkan lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan sumber-sumber primer dalam Islam.
b. Ilmu-ilmu Rasional, intelektual dan Filosofis
 Ilmu Kemanusiaan
 Ilmu alam
 Ilmu terapan
 Ilmu tekhnologi
 Ilmu perbandingan agama dalam pandangan islam
 Kebudayaan dan peradaban Islam. Disiplin harus dirancang sebagai sarana bagi orang-orang Muslim untuk memahami Islam sehubungan dengan agama-agama, kebudayaan-kebudayaan lain, terutama kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa yang akan datang akan berbentrokan dengan Islam.
 Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, leksikografi dan literature.
 Sejarah Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam dan perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam; filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah dunia.
5. Pendidik dan Anak Didik.
Al-Attas memberikan nasihat kepada peserta didik dan guru untuk menumbuhkan sifat keikhlasan niat belajar dan mengajar. Sebagaimana halnya semua tindakan atau perbuatan dalam Islam, pendidikan harus didahului oleh suatu niat yang disadari.
Al-Attas selalu menekankan keikhlasan dan kejujuran niat dalam mencari dan mengajarkan ilmu. Kejujuran menurut al-Attas adalah sifat dari ucapan atau pernyataan, seperti kesesuaianya dengan fakta-fakta eksternal dan realitas serta keseuaiannya dengan niat dalam hati.
Hal ini berarti, di samping kesesuaian tipe pertama ada pula kesesuaian tipe kedua, yaitu kesesuaian antara statemen yang diucapkan dan niat dalam akal dan hati. Tingkah laku eksternal (termasuk yang diucapkan secara lisan atau tertulis) dan fakta-fakta atau realitas yang tampaknya benar dapat menjadi bias jika hal itu tidak sesuai dengan niat dalam hati dan akal.
Dengan kata lain, bahwa peserta didik wajib mengembangkan adab yang sempurna dalam ilmu pengetahuan karena pengetahuan tidak bisa diajarkan kepada siapapun tanpa ada adab. Adalah kewajiban bagi orang tua dan peserta didik, khususnya pada taraf pendidikan tinggi, untuk mengerti dan melaksanakan pandangan yang sempurna terhadap belajar dan pendidikan.
Di samping itu, Al-Attas menekankan bahwa bagi penuntut ilmu harus melakukan internalisasi adab dan mengaplikasikan sikap tersebut. Menurutnya Ilmu pengetahuan harus dikuasai dengan pendekatan yang berlandaskan sikap ikhlas, hormat, dan sederhana terhadapnya. Pengetahuan itu tidak dapat dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan pengetahuan adalah sesuatu yang terbuka bagi siapa saja untuk menguasainya tanpa terlebih dahulu menilik pada arah dan tujuan, kemampuan, dan persiapan.
Dalam konteks ini, Al-Attas mengarisbawahi prinsip bahwa peserta didik dan ilmuwan harus datang bersama karena kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan Islam, niat mereka untuk memahami ajaran-ajaran dan sejarahnya dalam melaksanakan arah dan tujuan institusionalnya.
Disamping itu, Peseta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa dalam belajar kepada sembarang guru. Sebaiknya peseta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapa guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Pentingnya mendapatkan guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu menjadi suatu tradisi.
Al-Attas mengingatkan dan menekankan peserta didik untuk tidak besikap sombong, tetapi harus memerhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur atau terkenal. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru, harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar. Peserta didik seharusnya tidak menyibukkan diri pada opini yang bermacammacam. Sebaliknya, ia harus menguasai teori sebaik penguasaannya dalam praktik. Tingkat ilmu seseorang yang bisa dibanggakan adalah yang memuaskan gurunya.
Dismaping itu, Menurut Al-Attas, guru seharusnya menerima masukan yang datangnya dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemampuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati. Peranan guru dan otoritas dalam pendidikan Islam yang berpengaruh dan sangat penting itu tidak berarti menekan individualitas peserta didik, kebebasannya atau kreativitasnya.
Pendidik merupakan elemen yang sangat penting dalam pendidikan, sebab pendidik berfungsi sebagai sentral dari seluruh aktivitas pendidikan khususnya proses belajar mengajar.
Hampir semua faktor pendidikan yang disebut dalam teori pendidikan terpulang operasionalnya di tangan pendidik, misalnya metode, bahan (materi) pelajaran, alat pendidikan dalam operasionalnya banyak tergantung kepada pendidik.
Berdasarkan itulah seorang pendidik memegang kunci penting dalam memberdayakan pendidikan menghadapi dunia yang penuh dengan kompetitif. Berkenaan dengan hal itu, bagaimana kualifikasi pendidik dalam menghadapi pasar bebas yang akan datang ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru sama seperti seorang ayah atau pemimpin, harus mengoreksi kelemahan spiritual, intelektual, sikap, dan tingkah laku mereka yang berada di bawah bimbingannya.
Dalam konteks ini, Al-Attas mengatakan bahwa guru harus menunjukkan rasa tidak senang atau bahkan kemarahan ketika murid melakukan kesalahan yang patut mendapatkan respons seperti itu, walaupun jiwa guru tersebut harus tetap berada dalam pengendalian.
Karena itu, penghormatan kepada guru hanya bisa menjadi kenyataan jika para guru tidak hanya memiliki otoritas secara akademik dalam bidang mereka, tetapi juga memberikan contoh akhlak secara konsisten. Sama seperti guru-guru terkenal dalam sejarah Islam.
E. PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Al-attas memandang bahwa pendidikan saat ini telah tercemari upaya westernisasai, metologisasi, pemasukan hal-hal ghaib, dan sekularisasi, sehingga perlu dirancang paradigma baru pendidikan islam kontemporer.
Dalam hal ini ia menawarkan beberapa langkah untuk membangun paradigma pendidikan islam kontemporer, yaitu:
1. Dewesternesasi dan islamisasi
Jika westernisasi dipahami sebagai pembaratan / mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup barat. Maka dewesternisasi dipahami sebagai upaya pelepasan suatu dari proses pembaratan, atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh barat.
Sedangkan islamisasi dalam pandangan al-Attas, proses pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animis, tradisi nsionalis cultural, dan skularisme.
Disini jelas penekanannya yang dijadikan tumpuan harapan utama adalah manusia sendiri, berbada dengan al-Faruqi yang melakukan islamisasi pada disiplin ilmu sendiri.
2. Metafisiska dan Epistimologi
Pemahaman metafisiska al-Attas berangkat dari paham teologisnya. Al-attas membagi tingkatan para salik (orang yang melakukan spiritual tasawuf) menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Mubtadi’ yakni sufi yang berada pada tingkatan awal. Dalam tingkatan ini salik hanya melaksanakan amalan-amalan yang berkisar pada masalah moral dan adab.
b. Mutawasih, yakni merupakan tahapan kedua. Sisalik sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir yang mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensi yang ditentukan sang mursyid (guru salik).
c. Muntahiy, Pada tingkatan ini si Salik memsuki dunia filsafat dan metafisika. Maka pada tingkatan ini di wajibkan menguasai tiga jenis pengetahuan yaitu ilmu kebijaksanaan tuhan, ilmu naqliyah / syari’ah, dan yang terahir ilmu-ilmu rasional.
Dengan ketiga jenis pengetahuan ini, al-Attas lebih dikenal dengan tasawuf falsafi. Sedangan tasawuf yang membatasi dirinya pada tingkatan pertama dan kedua dikenal dengan istilah tasawuf akhlaqi.
Bagi penulis sendiri, upaya al-attas dalam menghidupkan kembali tasawuf falsafi merupakan sebuah keniscayaan.sebab krisis kebudayaan barat dengan paham sekularismenya berwal dari landasan filosofis yang tidak mau mengenal paradigma pemikiran alternative, tetapi lebih berdekatan pada rasional empiris. Dan justru paradigma islam yang ditawarkan al-Attas yang bukan hanya rasional empiris dan filosofis tapi juga meliputi intuitif, meta empiris, dan filosofis merupaka paradigma alternative yang cukup menjanjikan.
F. AKTUALISASI KONSEP PENDIDIKAN MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DALAM PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI.
Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius.
Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis maupun aksiologis.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Syed Muhammad Naquib al-Attas dilahirkan pada tanggal 5 september 1931, di Bogor Jawa Barat. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah Al-Attas dan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus dari keturunan kaum ningrat, berdarah biru dari kerajaan Sunda Sukapurah Jawa Barat.
Ia terkenal sebagai tokoh pendidikan islam, karena karya-karyanya dibidang pendidikan sangat menjanjikan kebikan bagi umat islam. Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil).
Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan kurikulum yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis. Karena itu, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan system.
Dengan demikian, pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) yang tidak mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Hal ini sangat relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni bernafaskan moral dan agama dan untuk kita laksanakan pada saat sekarang.
DAFTAR PUSTAKA


Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, 1984.

Assegaf, Abdurrachman dan Suyadi. Pendidikan Islam Mazhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat. Yogyakarta: Gama Media, 2008.

Bakar, Osman. Tauhid dan Sain. Bandung: Mizan, 1996.

Baharuddin, Kemas. Filsafat Pendidikan Islam: Analisa Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Barnabib, Imam. Filsafat Pendidikan Suatu Tujuan. Yogyakarta: Andi Offset, 1986.

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.

Kholiq, Abdul dkk. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1999.

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.

---------------, Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pres, 2002.

Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching, 2005.

Said, H.A. Fuad. Hakikat Tarekat Naqsyabandiy. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996.

Sholeh, A. Khudori. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003.

Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis. Pamekasan: STAIN Press, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar